Rabu, 23 Desember 2015

Cahaya sebagai Gelombang



Cahaya sebagai Gelombang
Teori gelombang cahaya mulai dikembangkan oleh Christian Huygens1 dengan berdasarkan kontruksi geometris yang dapat memperkirakan keberadaan muka gelombang dengan keunggulan adanya hukum pemantulan (refleksion) dan pembiasan4 (refraksion) gelombang dengan memberikan arti fisis pada indeks bias yaitu semua titik pada suatu muka gelombang merupakan titik sumber dari bulatan gelombang kecil sekunder. Setelah posisi waktu, posisi baru dari permukaan gelombang adalah posisi suatu permukaan yang menyinggung gelombang-gelombang kecil sekunder. Hyugens mengansumsikan bahwa gerak gelombang lebih besar dari aliran partikelnya. 

Gambar 1: Prinsip Huygens untuk menentukan muka gelombang


Cristian Huygens adalah fisikawan Belanda sebagai orang pertama yang menemukan teori gelombang untuk cahaya di tahun 1678.
Pembiasan adalah pembelokan gelombang akibat perbedaan medium.


Gambar 1 merupakan perambatan sebuah gelombang bidang yang berjalan ke kanan dalam ruang hampa dengan bidang AA’. Setiap titik pada gelombang menganggap sumber titik. Misal pada titik bidang AA’ sebagai sumber dari bulatan gelombang kecil sekunder yang dipancarkan saat t= 0. Menggambar bulatan sampai c  dimana c adalah kecepatan cahaya dalam ruang hampa. Gambar bidang BB’ menyinggung gelombang kecil pada waktu  yang mana sejajar dengan AA’ dan berjarak tegak lurus  dengan c
Interferensi merupakan amplitudo berbagai gelombang yang bergabung untuk membentuk amplitudo yang lebih besar. Inteferensi cahaya terjadi ketika terdapat dua gelombang datang bersama pada suatu tempat. Terdapat syarat yang harus dipenuhi oleh sumber cahaya agar dapat menghasilkan interferensi untuk diamati yaitu kedua sumber cahaya harus koheren yang memiliki beda fase selalu tetap sehingga keduanya harus memiliki frekuensi yang sama (beda fase boleh nol tetapi tidak harus nol) dan harus memiliki amplitudo yang hampir sama karena apabila tidak interferensi yang dihasilkan kurang jelas.


Gambar 2: Susunan pelangi

 
Seseorang dapat melihat pelangi ketika terdapat tetesan-tetesan air hujan dengan sinar matahari. Berkas merah dan ungu dibelokkan oleh tetesan air dan dipantulkan pada permukaan belakang. Merah dibelokkan paling sedikit sehingga mencapai mata pengamat dan tetesan yang lebih tinggi di langit. Sehingga pada warna pelangi yang paling atas berwarna merah.


Gambar 3: Refraksi cahaya matahari pada tetesan air hujan
Sumber: Bueche, J.F dan Hecht, E, College Physics Ninth Edition.

Warna-warna pada pelangi merupakan hasil dari efek optik diantaranya pembiasan (refraction), pemantulan (reflaction), dan penyebaran (dispersion)6. Pelangi akan terlihat setelah hujan, tetapi tidak selalu setelah hujan. Pelangi akan terlihat bergantung pada posisi sudut pengamat dan sinar matahari. Sinar matahari harus menyinari jatuhnya air sehingga cahaya akan masuk pada tetesan dan terdispersi. Cahaya terdispersi terhadap tetesan air hujan akan membentuk suatu haluan yang melibatkan geometeri.





Dispersion adalah perubahan bentuk gelombang ketika merambat melalui medium.
Gambar 4: Sudut pembentuk pelangi
Sumber: Bueche, J.F dan Hecht, E, College Physics Ninth Edition.

Pelangi tidak berbentuk rata dalam dua dimensi yang seperti terlihat. Pelangi yang sering terlihat sebenarnya berbentuk tiga dimensi yang mengerucut dengan cahaya terhambur. Puncak kerucut terletak pada mata manusia. Seperti dengan dihubungkan pada gelas kerucut yang terlihat pada mata ketika air yang diminum akan memancur. Ketika terlihat pada gelas akan berbentuk bundaran. Semua itu dihubungkan dengan teori pelangi pada tetesan air hujan yang jatuh akan terdispersi dalam bentuk yang melengkung (shape of cone). Bentuk itu akan berbeda warna setiap lapisannya dibawah warna merah, kuning dibawah orange, dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar